PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP : “Suatu Langkah Menuju Sinergitas”

Oleh :

DR. Ir. Arif Budimanta, M.Sc

(Disampaikan pada acara Pendidikan dan Latihan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sekolah Demokrasi Indonesia, 20 – 21 Maret 2007 di Hotel Kristal, Kupang)

I. Pengantar

Pembangunan merupakan suatu usaha yang dilakukan dalam kerangka melakukan berbagai perubahan yang bernilai positif. Munculnya suatu perubahan sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai konflik, sehingga diperlukan suatu perumusan pembangunan yang dilakukan secara matang, khususnya dalam pengelolaan lingkungan. Dalam kerangka pengelolaan lingkungan, banyak pembangunan yang dilakukan dalam usaha untuk menciptakan suatu sistem pengelolaan lingkungan yang lebih sinergis, hal ini dibutuhkan terkait pada banyaknya kasus-kasus pengelolaan lingkungan yang berujung pada munculnya konflik. Terdapat berbagai paradigma umum yang mendasari konsep pengelolaan lingkungan. Salah satunya adalah paradigma pengelolaan lingkungan yang berdasarkan pada konsep sustainable dan partisipatif multipihak.

Paradigma yang mengacu pada konsep sustainable merupakan suatu proses perubahan yang terencana yang didalamya terdapat keselarasan serta peningkatan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi masnusia. Hal ini mengartikan bahwa konsep sustainable dapat menjamin adanya pemerataan da keadilan sosial yang ditandai dengan lebih meratanya akses peran dan kesempatan. Konsep ini terfokus pada 3 pilar dasar yaitu sustainable lingkungan, sustainable ekonomi dan sustainable sosial. Sustainable lingkungan menekankan pada adanya keterbatasan lingkungan sehingga penting untuk dilindungi dan dilestarikan untuk keberlanjutan hidup generasi yang akan datang, sehingga penting untuk menciptakan suatu sisten kinerja pengelolaan lingkungan yang memiliki koridor sustainable. Paradigma sustainable lingkungan juga mengacu pada konsep keadilan yang dimaknai dengan adanya keterwakilan dan pendistribusiannya, terkait dengan bagaimana kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat menjadi suatu regulasi yang benar-benar mewakili aspirasi dari masyarakat luas. Melalui konsep keadilan, diharapkan nantinya tercipta peningkatan kualitas kehidupan dan kesejahteraan generasi masa kini tanpa mengabaikan kesempatan generasi masa depan memenuhi kebutuhannya. Sustainable di bidang ekonomi merupakan konsep pemanfaatan sumber ekonomi secara efisien dan efektif untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal ini penting agar produktivitas investasi dan pertumbuhan ekonomi tetap terjaga pada konsep keberlanjutan. Sustainable sosial yaitu pelestarian segala bentuk modal sosial, termasuk jaringan hubungan atau interaksi antar individu dan kelompok masyarakat. Ketiga pilar dasar konsep sustainable ini merupakan suatu hubungan yang saling terkait antara satu dengan yang lain, dimana masing-masing saling mendukung antar konsep yang nantinya akan berdampak pada suatu keberlanjutan yang utuh.

Paradigma umum berikutnya adalah yang mengacu pada konsep partisipatif. Konsep ini menekankan pada pentingnya pelibatan dari berbagai pihak terkait, dimana didasari dengan adanya kesetaraan dan kebersamaan dalam pengelolaan lingkungan. Diharapkan dengan adanya partisipasi dari berbagai pihak, lingkungan dapat dikelola dengan efektif dan efisien. Mengacu pada kedua paradigma ini, maka perlu ada regulasi hukum yang jelas terkait kepada pengelolaan lingkungan hidup terutama dalam hal pelaksanaannya. Saat ini kita telah memiliki berbagai konsep regulasi hukum yang diaplikasikan pada bentuk Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah, tetapi mengapa masih saja timbul berbagai konflik terkait dengan pengelolaan lingkungan. Berikut akan dipaparkan secara luas dan gamblang mengenai fenomena konflik lingkungan.

II. Urgensi

Saat ini banyak kasus-kasus yang terjadi dalam pengelolaan lingkungan, baik yang berskala kecil maupun berskala besar. Mulai dari konflik pengelolaan sumber daya perairan sampai pada benyaknya konflik yang timbul dalam pengelolaan sumber daya hutan. Kondisi ini mengartikan bahwa pentingnya untuk membicarakan permasalahan konflik lingkungan hidup sebagai suatu langkah dasar dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pada dasarnya, sangat penting untuk menemukenali akar/penyebab konflik, sehingga kita dapat mengetahui permasalahan secara mendasar. Selain itu, penting juga untuk mengidentifikasi stakeholders yang terkait. Hal ini menjadi penting mengingat masing-masing pihak memiliki berbagai kepentingan yang berbeda. Diharapkan melalui pengidentifikasian ini, kita dapat mensinergiskan stakeholders terkait sesuai dengan peran masing-masing pihak sehingga nantinya dapat mengantisipasi timbulnya konflik.

III. Sumber Daya Alam Dan Lingkungan

Berbicara mengenai Sumber Daya Alam (SDA) mencakup pengertian yang sangat luas, merupakan unsur pembentuk lingkungan yang sangat kompleks, dinamis, saling berinteraksi satu sama lainnya. Mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997, Pasal 1 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana lingkungan hidup dapat diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. SDA seperti air, udara, tanah, hutan dan lainnya merupakan sumberdaya yang penting bagi kelangsungan hidup mahkluk hidup termasuk manusia. Bahkan, SDA ini tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup manusia, tetapi juga dapat memberikan kontribusi besar terhadap kesejahteraan yang lebih luas. Namun, semua itu bergantung pada bagaimana pengelolaan SDA tersebut, karena pengelolaan yang buruk berdampak pada kerugian yang akan ditimbulkan dari keberadaan SDA, misalnya dalam bentuk banjir, pencemaran air, dan sebagainya.

Dalam hal ini, setidaknya keberadaan sumber daya alam memiliki berbagai fungsi, yaitu ;

  1. Fungsi ekonomi dan sosial/budaya; dan kedua, ekologis/sistem penyangga kehidupan
  2. Berfungsi ekonomi maksudnya sumber daya alam menyediakan beragam materi dan energi yang dibutuhkan untuk menunjang kelangsungan proses produksi. Sedangkan fungsi sosial/budaya berkaitan dengan keberadaannya sebagai media sebagian masyarakat dalam berinteraksi antar kelompok sosial maupun dengan sistem kepercayaan dengan tuhannya atau mempunyai fungsi psychophysiologic (sebagai insprasi sumber kepercayaan dan aktifitas religius), educational and scientific services (penelitian dan pendidikan lingkungan) serta source of land and living space (sumber lahan dan tempat tinggal suku-suku tertentu). Fungsi ekologis, berkaitan dengan berbagai komponen lingkungan yang membentuk ekosistem dan keseimbangannya diperlukan dalam menjaminkan berbagai aktivitas kehidupan makhluk hidup.

IV. Konflik

Banyak definisi yang berkaitan dengan konflik. Konflik bisa diartikan sebagai gangguan emosi yang merupakan akibat benturan pandangan yang saling bertentangan atau ketidakmampuan menangani pandangan-pandangan dengan pertimbangan realistis maupun moral. Konflik dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Berdasar Posisi para pelaku : Konflik Horisontal & Konflik Vertikal

b. Berdasar bentuk/dampak yang muncul dari konflik : Konflik Tertutup & Konflik Terbuka, mengarah pada kekerasan/kerusakan

c. Klasifikasi berdasarkan lamanya konflik : Konflik Sesaat (spontan) & Konflik Berkepanjangan (underlying)

d. Klasifikasi berdasarkan rencana target : Konflik Sistematis & Konflik Non-Sistematis

e. Berdasar level konflik : Intrapersonal, interpersonal, intragroup, intergroup, kombinasi, dll; melihat dimana level konflik terjadi (top manajemen, middle atau low manajemen)

f. Berdasar sumber/akar konflik : perbedaan kepribadian, nilai/budaya, data/informasi,, struktural, konflik kepentingan/kekuasaan, dll

g. Berdasar bidang konflik : etnis, politik, ekonomi/perebutan SDA, konflik sosial, dll

h. Berdasar tahapan kegiatan : perencanaan, pengorganisasian, implementasi, pengawasan dan evaluasi

i. berdasar bentuk potensi penyelesaian konflik : melalui hukum adat, penyelesaian

Dalam hal ini, konflik struktural sering menjadi penyebab terjadinya konflik lingkungan/SDA. Konflik ini berpangkal pada adanya ketimpangan sosial, ekonomi dan politik antara para pihak, termasuk dalam akses terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Terkait dengan SDA, secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi faktor rentan konflik, yakni:

a. SDA bersifat dependent dan keterpautan, artinya adanya ketidakseimbangan satu komponen akan berakibat pada komponen yang lain. Demikian juga perubahan disuatu lokasi akan meningkatkan akibat ditempat lain.

b. SDA pada dasarnya bersifat terbatas dan bersifat langka (scarcity), sedangkan disi lain kebutuhan dan permintaan akan selalu meningkat. Untuk itulah akan terjadi persaingan antar pihak yang berkepentingan terhadap SDA tersebut.

SDA digunakan masyarakat dengan cara yang ditentukan oleh budaya dan latar belakangnya. Orang berkompetisi terhadap lahan, hutan dll bukan hanya sebagai sumber ekonomi tetapi juga bagian dari cara hidupnya/budaya

V. Konflik Lingkungan

Konflik lingkungan merupakan konflik yang terjadi pada tataran perencanaan maupun pengelolaan lingkungan. Berbagai opini muncul untuk memahami konflik lingkungan ini, terutama hal-hal yang menyangkut regulasi. Terdapat tiga ruang lingkup yang dapat menjelaskan tataran konflik lingkungan, yaitu konflik kebijakan pengelolaan, konflik pada tataran kewenangan dan peran serta konflik yang terkait pada isu-isu di tinkat grass root.

  1. Konflik kebijakan pengelolaan

Konflik pada tingkatan ini merupakan konflik yang berada pada tataran regulasi dan kebijakan dalam pengelolaan lingkungan. Banyak konflik lingkungan yang timbul sebagai akibat dari adanya kebijakan yang kabur (tidak jelas), adanya kebijakan yang tumpang tindih antara pusat dan darerah serta adanya tumpang tindih kebijakan lama dan kebijakan yang baru. Bagaimana mungkin melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik apabila pada tingkatan regulasi saja sudah terdapat berbagai tumpang tindih regulasi. Bercermin pada hal ini, diharapkan kepada pihak pemerintah, khususnya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota agar dapat mensinergiskan berbagai kebijakan maupun regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, sehingga antar kebijakan maupun peraturan dapat saling mendukung, baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun antara kebijakan yang telah lama dengan kebijakan yang baru.

  1. Konflik kewenangan dan peran

Konflik ini biasanya muncul sebagai akibat dari adanya tarik menarik peran antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Banyak terdapat sistem pelaksanaan yang mengakibatkan munculnya tarik menarik peran. Hal ini didukung seiring dengan diberlakukannya sistem otonomi daerah. Di satu sisi, pihak pemerintah daerah merasa memiliki peran wewenang yang lebih besar dibandingkat pemerintahan pusat. Sementara disisi lain pemerintah pusat mengklaim bahwa peran dan wewenang tersebut berada di tangan mereka.

  1. Konflik yang terkait terhadap isu-isu di level grass root

Pada tingkatan ini, konflik biasanya terjadi seputar permasalahan hak ulayat, proverty dan disparitas dalam pengelolaan lingkungan. Di satu sisi masyarakat merasa memiliki lingkungan sekitarnya yang merupakan hak turun temurun dari leluhur mereka sementara di sisi lain mereka tidak memiliki bukti-bukti / legalitas secara hukum. Konflik yang timbul pada tingkatan ini nantinya akan menimbulkan suatu konflik yang bersifat struktural.

Berdasarkan ruang lingkup konflik lingkungan diatas, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mengapa konflik lingkungan dapat terjadi? Terdapat berbagai konsep yang dapat menjelaskan penyebab timbulnya konflik lingkungan. Tentu saja untuk mengidentifikasinya kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana kondisi dan latar belakang sosial yang ada. Terdapat enam hal yang menjadi penyebab utama timbulnya konflik lingkungan.

  1. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari konsep bahwa lingkungan adalah sebuah sistem yang dapat mengalami kerusakan pada waktu dan bagian tertentu, sehingga banyak terjadi eksploitasi dan monopoli terhadap lingkungan.
  2. Lingkungan bersifat common resources, dimana akan terjadi terik menarik kewenangan dan tanggungjawab antara pihak-pihak yang terkait dan yang berpotensi untuk terlibat.
  3. Konflik lingkungan timbul sebagai akibat dari regulasi yang mengatur tata cara pengelolaan lingkungan tersebut.
  4. Bersifat scarcity, dimana pada waktunya nanti akan terjadi suatu kelangkaan sehingga muncul berbagai keinginan dari berbagai pihak yang cenderung untuk menguasai
  5. Konsep lingkungan yang hanya dipandang pada koridor ekonomi saja, dimana pada dasarnya lingkungan juga memiliki fungsi sebagai identitas sosial

VI. Manfaat Konflik

Konflik secara harfiah merupakan suatu aspek yang bernilai negatif, tetapi apabila kita telusuri dan cermati dengan mendalam, tidak selamanya konflik membawa dampak negatif (hal ini bukan berarti kita menimbulkan konflik dengan sengaja). Manfaat yang diperoleh adalah manfaat yang bersifat start point dimana kondisi konflik dapat memberikan berbagai kemudahan dalam melakukan berbagai perbaikan. Yang kita perlukan untuk memanfaatkan konflik sebagai suatu keuntungan adalah dengan adanya managemen konflik yang baik sehingga dapat memberikan nilai positif. Berikut akan dipaparkan beberapa manfaat konflik.

1. Konflik dapat mengartikulasikan kesadaran diri/kelompok atau lembaga tentang adanya dari suatu masalah yang lebih serius. Dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan ada kalanya kita mendapatkan curahan pendapat dari berbagai kelompok tentang tidak tepatnya cara pengelolaan lingkungan

2. Peluang untuk mengembangkan hubungan yang konstruktif antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Adanya konflik dapat membuka peluang bagi pihak yang menguasai sumber daya untuk mengetahui lebih dalam lagi apa yang dipersoalkan oleh pihak yang mengajukan keberatan, adakalanya juga di dalam orang yang tadinya mempersoalkan tentang pengelolaan lingkungan kemudian menjadi kawan sejalan dan seiring

3. Membawa penyadaran akan keberadaan pihak lain

Konflik akan membawa kita untuk lebih mengenali pihak lain;

siapa dia,

darimana dia,

kenapa dia seperti itu,

apa yang menjadi motivasinya

Siapa saja temannya

4. Pemecahan masalah yang lebih baik

Adanya konflik kemudian memacu perdebatan dan adu argumentasi antara para pihak yang berkonflik, perdebatan tersebut kadangkala diikuti dengan tawaran-tawaran alternatif penyelesaian masalah dari berbagai pihak. Analisis masalah dan alternatif penyelesaian ini membawa para pihak yang bertikai untuk mensinergikan penyelesaian masalah secara lebih bijaksana dan acceptable

5. Meningkatkan produktivitas

Di dalam pengelolaan lingkungan,terdapat beberapa kelompok yang terlibat. Pihak pihak yang terlibat ini tidak dapat berpartisipasi sepenuhnya (terkadang karena terpaksa karena tidak punya pilihan), hal ini mengakibatkan kinerja program tidak optimum, mengenali sejak dini gejala ini akan mempengaruhi kinerja dan produktivitas menjadi lebih baik, apabila masalah tersebut dikelola dan terselesaikan dengan baik.

6. Merangsang Pengembangan Kelembagaan

Adanya konflik, seringkali mengganggu hubungan antar instutusi yang terlibat. Tetapi apabila hubungan tersebut dapat diuraikan berdasarkan masalahnya, maka ide-ide baru yang muncul dalam penyelesaiaan masalah tersebut dapat dijadikan landasan untuk menata hubungan antar institusi yang lebih sinergis, terkoordinasi dan produktif

7. Ajang Pemberdayaan

Interkasi yang terbangun selama proses penyelesaian konflik, akan membuat para pihak untuk dapat memahami dan mengetahui pihak lain, mengeluarkan ide-ide melalui tawaran-tawaran solusi berdasarkan basis sumber daya yang ada. Interaksi ini akan menjadi ajang pemberdayaan apabila pihak yang mengajukan komplain atau yang di komplain ikut terlibat dalam proses pengambilan keptusan terhadap penyelesaian masalah yang dikonflikkan

9. Keuntungan Sosial Ekonomi

Apabila konflik dapat dikelola dengan baik sejak awal untuk mencari upaya sinergis, maka kinerja akan meningkat dan menjadi lebih efisien. Hal ini tentu saja akan menjadi penghematan biaya yang secara tidak langsung, biaya tersebut dapat dialokasikan untuk berbagai kebutuhan yang lain.

VII. Stakeholder

Identifikasi stakeholders merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya konflik. Indentifikasi disini tentu saja bukan hanya melihat siapa saja stakeholdersnya tetapi lebih kepada melihat apa peran, wewenang dan kepentingannya. Dalam pengelolaan lingkungan, stakeholders dapat dibagi kedalam tiga bagian, yaitu masyarakat, pemerintah dan dunia usaha (korporat).

Peran Pemerintah : DPRD dan Dewan Evaluasi Kota

Secara umum, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki peran yang mengacu pada UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 (Pasal 10) kewajiban pemerintah adalah :

  1. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup
  2. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
  3. Mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
  4. Mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
  5. Mengembangkan dan mengembangkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkunagn hidup
  6. Memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup
  7. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup
  8. Menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
  9. Memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup

Sementara itu, mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 6 tahun 2005, DPRD secara mendasar memiliki fungsi legislatif, anggaran dan pengawasan. DPRD memiliki wewenang untuk membentuk Perda dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam konteks pengelolaan lingkingan, pihak DPRD diharapkan dapat membuat berbagai regulasi yang dituangkan dalam bentuk Perda ataupun peraturan perundang-undangan dimana pembentukan peraturan tersebut berdasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang berbasis pada sustainibility dan partisipatif. Hal ini menjadi dasar yang sangat penting mengingat pengelolaan lingkungan yang berbasis pada kosep tersebut dapat meminimalisasi terjadi konflik khususnya konflik dalam pengelolaan lingkungan.

Secara lebih spesifik, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota memiliki berbagai peran yang berada pada tataran kebijakan dan fasilitasi. Dalam hal ini DPRD dan Dewan Evaluasi Kota diharapkan dapat berperan sebagai :

  1. Regulator dalam pembuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup.
  2. Mediator multi stakeholders, dimana berfungsi memfasilitasi stakeholders lain (masyarakat dan dunia usaha) dalam usaha melakukan pengelolaan lingkungan yang baik dan berkelanjutan
  3. Sebagai mitra dari eksekutif dan legislatif untuk melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan pembangunan lingkungan di suatu daerah
  4. Menyiapkan rekomendasi atas berbagai temuan masalah dan hasil evaluasi yang dilakukan

Selain hal tersebut diatas, DPRD dan Dewan Evaluasi Kota juga harus berada pada koridor konsep environmental leadership dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya DPRD dan Dewan Evaluasi Kota sebaiknya dapat membangun kesadaran kritis terhadap isu-isu lingkungan, memotivasi dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi. Hal ini mengartikan sejauh mana orang mempunyai pemahaman yang koperhensif beta pentingnya menjaga lingkungan, agar lingkungan itu kondusif buat generasi selanjutnya sepanjang masa, ini terkait kepada tingkatan DPRD dan Dewan Evaluasi Kota adalah pada pengambil kebijakan, sehingga diharapkan segala regulasi yang dibentuk dapat benar-benar dibentuk sinergis dengan berbagai elemen stakeholders. Perlu juga menjadi perhatian bahwa untuk mewujudkan konsep environmental leadership, harus didukung oeh suatu sistem yang benar-benar kondusif sehingga peningkatan kapasitas dapat dilakukan seiring dengan perbaikan sistem.

VIII. STRATEGI PENGELOLAAN KONFLIK : Menemukan Penyelesaian

Bagaimana wujud praktis pengelolaan konflik yang bukan sekedar teori di buku tetapi dapat diterapkan di lapangan? Teknik apa saja yang harus dilakukan? Secara teoritis, penyelesaian konflik yang ideal dilakukan dengan prinsip ”musyawarah untuk mufakat”. Namun pada kenyataannya, yang terjadi di berbagai kasus konflik lingkungan hidup adalah sulitnya untuk mensistematiskan penyelesaian konflik agar sesuai dengan tahap-tahap yang tertulis dalam teori.

Terdapat 3 pendekatan yang dapat dilakukan dalam mengelola konflik, yaitu:

1. Konvensional

2. Konfrontatif

3. Akomodatif

Tentu saja dalam strategi pengelolaan konflik bisa jadi merupakan gabungan beberapa pendekatan, atau bisa juga tidak semua strategi yang biasa diterapkan di lapangan dapat di golongkan sebagai salah satu pendekatan tersebut, melainkan merupakan suatu pendekatan baru. Pada implementasinya, dalam menentukan pendekatan yang ingin digunakan untuk mengelola konflik, kembali lagi harus disesuaikan dengan karakteristik lokal, permasalahan seperti apa yang menjadi sumber terjadinya konflik, serta pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam konflik.

Pendekatan Konvensional

Dalam pendekatan konvensional, sejak dini telah dilakukan identifikasi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatan sumber daya. Hal ini dilakukan untuk menghindari munculnya konflik terbuka sedapat mungkin.

Cara lain yang digunakan dalam pendekatan ini adalah melalui cara-cara pasif yang merupakan penyelesaian sepihak, tanpa kesepakatan atau perundingan dengan pihak lain. Pada umumnya, cara ini bukan menyelesaikan konflik tetapi lebih kepada meredam konflik agar tidak cepat muncul ke permukaan, lalu menjadi konflik terbuka yang diketahui oleh khalayak umum.

Pendekatan Konfrontatif

Dalam pendekatan konfrontatif, pihak-pihak yang bertentangan saling mempertahankan posisinya dan berupaya meyakinkan pihak lain akan ”kebenaran” posisinya. Cara-cara yang biasanya dilakukan antara lain melalui demonstrasi, sabotase, ancaman, atau bahkan kekerasan

Pendekatan ini tidak disarankan dalam penyelesaian permasalahan yang melibatkan masyarakat, karena berdasarkan pengalaman yang sering terjadi, penggunaan cara-cara konfrontatif hanya akan menyulut terjadinya benturan-benturan lain, bukannya menyelesaikan masalah.

Pendekatan Akomodatif

Pendekatan akomodatif menekankan pentingnya cara-cara yang kooperatif, dimana pihak-pihak yang bersengketa bersedia untuk bekerja sama dalam mengupayakan penyelesaian konflik bersama. Memang tidak mudah untuk mencapai solusi tersebut, tetapi bukan tidak mungkin juga untuk dilakukan. Pendekatan ini mencakup tawar-menawar (bargaining), perwasitan (arbitrase), dan berunding (negosiasi, mediasi).

Dalam proses tawar-menawar, masing-masing pihak yang bersengketa harus merumuskan terlebih dahulu apa yang ingin dipenuhi oleh pihak lain (tuntutan) dan apa yang bersedia diberikan kepada pihak lain untuk memenuhi tuntutan dari mereka? Disinilah terjadi proses tawar menawar, dimana secara bergantian masing-masing pihak menawarkan kompromi (mengurangi tuntutan) sambil mencoba meyakinkan pihak lain untuk mau memenuhi tuntutannya

Dalam arbitrase, pihak-pihak yang bersengketa bersepakat untuk menyerahkan keputusan penyelesaian sengketa kepada seorang wasit (arbitrator), yaitu pihak ketiga yang dipercaya kedua belah pihak mampu membantu menyelesaikan konflik yang ada. Biasanya, seorang arbitrator telah memahami permasalahan yang terjadi, sehingga ia dapat bersikap adil dalam menyelesaikan konflik. Salah satu contoh kasus arbitrase yang sering terjadi di pedesaan adalah manakala para petani yang bersengketa mengadukan permasalahannya kepada pemimpin adat, lalu menyerahkan keputusan penyelesaian sengketa kepada pemimpin adat tersebut

Cara lain yang paling umum digunakan dalam menyelesaikan konflik adalah dengan cara perundingan. Hasil yang diharapkan dari pendekatan ini adalah ”win win solution”, yaitu pemecahan yang menguntungkan semua pihak secara optimal dan berimbang. Proses perundingan dapat dilakukan dengan mediasi atau tanpa mediasi. Mediasi diperlukan apabila pokok sengketa telah meluas dan menjadi rumit, sehingga dibutuhkan pihak lain yang dianggap mampu membantu pihak yang bersengketa untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka secara berimbang

IX. Pustaka

Budimanta Arif, 2005. ”Memberlanjutkan Pembangunan Diperkotaan Melalui Pembangunan Berkelanjutan”, Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21 : Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia, Jakarta : Yayasan Sugijanto dan Urban and Regional Development Institute.

Budimanta Arif, 2005. ”Menuju Sustainable Future”, Sustainable Future : Menggagas Warisan Peradaban Bagi Anak Cucu Seputar Wacana Pemikiran Surna Tjahja Djajadiningrat, Jakarta : ICSD.

Budimanta Arif dkk, 2005. Environmental Leadership, Jakarta : ICSD .

http://www.ypb.or.id/lh/uu9723.html, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Indonesia Center for Sustainable Development, 2003 “Data Pengembangan Masyarakat”

Minulya, Budi Retno, 2006. ”Materi Pelatihan : Conflict Management in Corporate Sosial Responsibility and Community Development”, Jakarta : ICSD.

Moeliono, Ilya dkk, 2003. “Memadukan Kepentingan Memenangkan Kehidupan”, Bandung : Studio Driya Media bekerjasama dengan World Neighbors, Konsorium pengembangan Masyarakat Nusa Tenggara dan dukungan dari Ford Foundation.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 : Tentang Pilkada, Surabaya : Karina.

Tinggalkan komentar